Monday, April 20, 2020

Kartini dan Ummu Walad

Film Kartini (2017) dari Hanung Bramantyo mengingatkan saya terhadap definisi Ummu Walad.

Ummu Walad ialah budak wanita yang digauli pemiliknya dan melahirkan anak darinya, baik laki-laki atau perempuan.

Apa hukum menggauli budak yang kemudian menjadi Ummu Walad? Pemilik budak wanita boleh menggauli budak wanitanya, dan jika budak wanitanya tersebut melahirkan anak, maka ia menjadi ibu dari anaknya https://almanhaj.or.id/20-ummu-walad.html

Bagaimana status anak anaknya? Bila majikannya menggauli budak itu, dan budak itu kemudian hamil lalu melahirkan, maka anaknya adalah anak yang merdeka dan statusnya sama dengan anak majikannya dari istri yang merdeka. (Tafsir Al-Azhar. Juz 4. Prof. DR. Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.) https://kristolog.com/2010/08/18/menggauli-budak/amp/

Dalam artikel yang sama, disebutkan bahwa Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah (memerintah 198-217 H / 813-833 M) adalah anak Ummul Walad dari Khalifah Harun Al Rasyid.

Dalam scene pertama, Hanung langsung menggedor kemanusiaan kita, dengan menyodorkan Ummu Walad dalam konteks lokal Jawa Jepara 1 abad lalu.

Kartini lahir dari (belakangan diketahui adalah istri pertama) garwa ampilan Bupati Jepara, Ngasirah, seorang rakyat biasa. Garwa ampilan ini dalam kelaziman kerajaan Islam Jawa, adalah selir. Selir bukan istri utama. Istri utama disebut garwa padmi. Istri maksimal empat sesuai yang diperbolehkan syariah. Tetapi selir, yang hukumnya disamakan dengan budak, karena tidak punya kemerdekaan, maka bisa jumlahnya banyak. Di Jawa berabad lalu, seorang pemuda tetap disebut perjaka, meski punya selir atau garwa ampilan.

Dengan kondisi seperti inilah Kartini dilahirkan. Ibunya, Ngasirah, berharap agar Kartini dan adik-adiknya, kelak mencapai status Raden Ajeng. Untuk itu Kartini kecil dalam scene pertama, menangis karena dipaksa menyebut ibunya sebagai "yu" (alias panggilan ke pembantu), dan bukan ibu. Ngasirah memberikan pengertian bahwa Ni (panggilan Kartini) harus tidur di rumah bagian depan, bersama putra putri bupati Jepara, dan bukan di rumah belakang, tempat para abdi dalem, agar menjadi Raden Ajeng.

Scene pertama inilah yang mengingatkan saya bahwa Ngasirah tengah berjuang menjadi Ummu Walad, dengan anak yang mencapai status seperti tuanya, merdeka dan punya status sosial tinggi.

Dalam bacaan saya terhadap sejarah di Jawa, baik masa Hindu Budha dan Islam, memang tidak ada sistem perbudakan seperti di Romawi, Mesir, Arab (Saudi menghapus perbudakan tahun 60an). Tapi sistem semacam ini diadopsi dalam sistem feodal Jawa, dengan kawula dan Gusti, rakyat kecil yang menghamba kepada tuan.

Sambung lagi besok. Intinya film Kartini ini sangat direkomendasikan untuk ditonton. Sinematografi mantabs. Nilai yang diperjuangkan mantabs juga.

Nilai 9 dari 10

Monday, January 07, 2019

Disewakan apartemen Studio 
Green Lake View apartment
Jl. Dewi Sartika No.34 A, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten 15411

Hubungi Veritia veritia@gmail.com
Dapat bulanan. Lebih disukai jangka panjang

Fasilitas apartemen:
  • Kolam renang & fasilitas olahraga, jogging track, danau
  • Keamanan 24 jam
  • Masuk lift dengan kartu RFID
  • Masuk kamar dengan kunci
  • Warung makan. Alfamart, Indomart
  • Dekat transportasi umum. Dekat pasar Ciputat
  • Internet tinggal dipasang. First Media sudah masuk
Fasilitas kamar
  • Spring bed yang dapat dilipat dengan menempel ke dinding
  • AC, TV, kulkas
  • Tempat aqua
  • Kompor
  • Kursi, meja
  • Tempat cuci piring














Sunday, October 28, 2012

Ukuran keberhasilan pemimpin

Arif, seorang kawan wartawan Kompas, ketua tim Ekspedisi Cincin Api yang keren itu, pemenang dua kali Mohtar Lubis Award, membuat teori mengenai pemimpin daerah yang berhasil.

Katanya, untuk melihat pemimpin daerah yang berhasil itu adalah dengan mengamati indikator:

1. Apakah jalanan bagus dan mulus, bahkan sampai kampung-kampung. Ini indikator pembangunan infrastruktur berjalan dengan sedikit dikorupsi. Mengapa di kampung? Maksudnya pemerintah daerah memberi perhatian sampai ke infrastruktur kampung, dan masyarakat dengan sukarela ikut menjaga kalau terjadi bolong. Masyarakat sukarela menambal dan memperbaikinya. Ini artinya kepemimpinan daerah berjalan dengan baik, tercipta trust antara kepala daerah, lurah / staf kelurahan, dan masyarakat. Coba di Jakarta, Bogor, Banten, dan Jawa Barat pada umumnya, jalanan kampung hancur, lha jalan kabupaten/kota juga sama. Menurut kawan saya itu, hanya di Yogya dan Solo jalanan bagus, dari jalan prorokol sampai ke kampung.

2. Pasar dikelola dengan baik, minim premanisme, parkir teratur, pedagang berjualan di dalam, dan tak ada pasar tumpah. Mengapa indikator ini? Mengelola pasar itu sulit. Duitnya tidak gede, tapi potensi perlawanan masyarakat besar. Kepala daerah dan birokrasi brengsek cenderung membiarkan. Toh masyarakat sudah permisif dengan pasar tumpah sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Pasar tumpah mereka anggap sebagai kesalahan masyarakat yang tak mau diatur, bukan pemerintah daerah yang tak mampu menjalankan fungsi manajemen pasar yang baik. Menurut kawan saya Kompas itu, sekali lagi, Yogya dan Solo sekali lagi mampu mengelola pasar dengan baik. Bandingkan dengan pasar tumpah bikin macet di kab Bogor, Bogor, Pantura, dan hampir semua kota di Indonesia.

Apakah kebetulan kalau Yogya dan Solo dua-duanya memenuhi kriteria itu? Yang menarik, tahun 2010, walikota Yogya, Herry Zudianto, dan Solo, Jokowi, adalah penerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award. Herry namanya harum di Yogya. Jokowi apalagi.

Saya ingin menambah indikator:

3. Apakah kepala daerah tersebut suka nampang bernarsis ria di baliho dan spanduk pemerintah. Kepala daerah yang berhasil, dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, terjadi perubahan struktural dan kultural birokrasi dan masyarakat, pasti akan populer, dan tak perlu memasang foto diti di baliho, menggunakan APBD. Siapa kepala daerah yang tak pasang foto diri? Lagi-lagi sepengamatan saya: Herry dan Jokowi. Keduanya cukup pede bahwa masyarakat merasakan hasil kepemimpinannya, sehingga tak perlu nampang di baliho yang mengotori kota. Keduanya menang dalam pemilihan walikota masa berikutnya praktis tanpa narsis di jalanan kota.

Minggu lalu saya ke Bandung. Sepanjang perjalanan, jalanan dipenuhi foto Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat, dengan dana APBD, dengan beragam tema. Di Jawa Tengah, foto Bibit Waluyo nampang dimana-mana memakai dana negara. Di Sulawesi Selatan, spanduk dan baliho Gubernur Syahrul Yasin Limpo berperang melawan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Sebagian dana negara, sebagian tim kampanye. Mengotori kota. Di Aceh, ketika Gubernur lama Irwandi Yusuf mendapat penghargaan dari SBY, sontak semua kepala dinas provinsi memasang iklan selamat di koran Aceh. Masyarakat sih tak peduli. Ya, Ahmad Heryawan, Bibit, Syahrul, banyak dapat penghargaan -dari pemerintah, bukan dari LSM terkemuka seperti Bung Hatta Anti Corruption Award yang digawangi Bambang Widjojanto, Ken Sudarto, Edward Suryajaya, Nono Makarim, Betty Alisyahbana dkk.

Sederhana saja, kepala daerah yang narsis memakai dana negara atau pribadi, artinya kepemimpinannya tak dirasakan baik oleh masyarakat.

Jadi inilah pedoman bagi masyarakat yang daerahnya akan memilih kepala daerah:

1. Cari pemimpin yang seperti Jokowi dan Herry: bersih, merakyat, kaya dari usaha yang tak terkait APBN/D (Herry dan Jokowi sama-sama eksportir mebel. Herry juga punya pabrik batik), dan berjiwa melayani.

2. Lihat apakah jalanan bagus sampai ke kampung (indikator infrastruktur dan social trust), pasar tumpah (manajemen pemerintahan, pro rakyat kecil), dan bukan narsis di baliho (tidak pede karena memang tidak berprestasi).

Agam F

Beratnya menata Jakarta

Enam ratus miliar anggaran pembangunan kantor dinas-dinas di Jakarta untuk 2013. What?????

Itulah kekagetan saya ketika mendengar Danang dari ICW bercerita hasil pertemuan ICW dengan Basuki Ahok, Wagub Jakarta.

Alhamdulillah, Allahu Akbar, Foke kalah, dan rakyat Jakarta punya kendali atas APBD DKI Jakarta senilai 40 triliun tahun 2013, melalui duet Jokowi-Basuki.

Untuk apa 600 miliar itu? Untuk pembangunan gedung-gedung dinas, kelurahan, kecamatan, dan kotamadya di Jakarta. Padahal gedung yang sudah ada bahkan masih berdiri kokoh.

Padahal berapa anggaran satu kampung deret sesuai visi Jokowi-Basuki? Hanya 20 miliar saja. Enam ratus miliar tahun 2013 bisa membangun 300 kampung deret, belum termasuk fasilitas, pembebasan tanah. Bisa dibayangkan permasalah kampung kumuh, permukiman bantaran sungai, yang membelit Jakarta selama puluhan tahun, dalam sekejap ada harapan untuk penyelesaian.

Transjakarta tahun ini hanya dianggarkan 300 miliar. Hasilnya, infrastruktur memburuk. Headway semakin lama. Antrian di halte panjang sekali. Tahun 2013, Jokowi-Basuki menaikkan 4 kali lipat, jadi 1,2 triliun. Ada harapan masalah-masalah itu terselesaikan.

Foke berencana mengeluarkan obligasi 1 triliun lebih akhir tahun ini. Alhamdulillah, Foke kalah. Untuk apa duit utang tersebut, sementara duit APBD banyak sekali? Untuk pembangunan terminal bis Pulo Gebang 700 miliar. What???? Transjakarta ditelantarkan, tapi mau membangun terminal super duper mahal, yang belum tentu dipakai?

Anggaran pembangunan MRT 15 trilun, untuk 22 km. Mahal? Ya mahal, karena perencanannya serampangan, apalagi Jepang terkenal murah hati dalam menggelontorkan suap dan pelicin. Serampangan bagaimana? Karena pembangunannya bakal menggusur stadion sepakbola Lebakbulus. Bayangkan, di tengah kelangkaan ruang terbuka hijau, sarana olahraga, stadion yang ada malah akan digusur, untuk depo kereta. Sebaliknya, ide Ahok sungguh cemerlang. Pembangunan MRT tidak dimulai dari Lebakbulus, tapi justru dari Kampung Bandan di daerah Kota. Ini daerah kumuh, dengan banyak tanah negara yang terlantar, sehingga didiami pemukim liar. Visi Ahok adalah bikin depo di sini karena tanah masih luas. Sekaligus peremajaan kampung kumuh menjadi Rusunawa buat masyarakat. Stadion Lebakbulus masih berfungsi sebagai stadion + terminal MRT dan bis yang lebih tertata.

Birokrasi Jakarta jaman Foke memang tak peduli rakyat. Mereka mengelola APBD untuk mereka sendiri.

Sepertinya perhatian rakyat seluruh Indonesia terhadap Jokowi-Basuki memang memperlihatkan kerinduan rakyat akan pemimpin yang melayani.
Agam F

Saturday, October 20, 2012

Benny Soebardja: dari Rockstar, ke Manajer, ke Pengusaha

Benny Soebardja: dari Rockstar, ke Manajer, ke Pengusaha

Tulisan tahun 2008 di website aktulista.com

Peluhnya bercucuran. Tangan yang satu memegang palu, sementara lainnya menusukkan paku ke kaki meja yang patah. "Sayang meja ini kakinya patah. Terpaksa dilego murah, atau dihibahkan saja pada yang berminat." Benny Soebardja, nama yang tidak asing bagi pembaca Aktuil, menyesalkan petugas pengepakan di Spanyol yang kurang hati-hati sehingga ada mebel jualannya yang cacat dan baru diketahuinya di Birmingham.

Tak terbayangkan bahwa seorang rockstar sekaliber Benny Soebardja, yang pernah membesarkan nama Giant Step, dan akhir-akhir ini membangkitkan lagi grup rock progresif Shark Move yang mati muda di tahun 70-an, menjadi seorang pengusaha mebel yang sukses.

Inilah langkah raksasa seorang rockstar, dari musisi, menjadi manajer perusahaan asing, dan sekarang berlabuh menjadi pengusaha mebel sukses.

Bents Handpainted Furniture adalah merek mebel produksi Benny Soebardja, dibawah CV. Bents Ranggie Sejahtera yang bermarkas di belakang rumahnya yang luas di Cinere. Mebelnya diekspor ke berbagai negara, selain dipasarkan di dalam negeri. Pada awal tahun 2008 saja, Bents sudah mengikuti pameran di Spanyol dan Birmingham, Inggris. Benny berangkat bersama Tria Julianty, istrinya, mengurus semua keperluan pameran sendiri, termasuk memperbaiki jika ada yang rusak. Semua dilakukan berdua dengan istri.

Tak heran, Benny sukses membangun usaha mebelnya sejak bertekad pensiun dini dari grup Monsanto di Indonesia, perusahaan benih pertanian dari Amerika Serikat sebagai R & D Manager.

Benny sempat pula menjadi tamu dalam acara populer TV dan radio di akhir 90-an dan awal 2000, Bedah Bisnis Rhenald Khasali. "Saya diundang sebagai tamu karena dijadikan contoh musisi yang sukses beralih profesi sebagai pengusaha."

Benny sudah dua kali ikut pameran di pameran mebel internasional Inggris di NEC Exhibition Center, Birmingham. "Saat saya ikut pada bulan Januari 2007, saya tidak ada kenalan siapapun di KBRI maupun Birmingham." Beruntung pada Januari 2008, Riza Sihbudi, Atase Pendidikan di KBRI Inggris yang juga dedengkot kelompok pencinta musk lawas Indonesia, KPMI, membantu memperkenalkan dengan mahasiswa Indonesia di Birmingham, sehingga sedikit banyak dibantu selama seminggu pameran.

Disana, tidak banyak yang mengenal Benny sebagai rockstar. Hanya Pak Surya Murtiadi PhD, dosen Universitas Mataram dan baru lulus PhD di Aston University, yang mengenal karena dimasa mudanya menggemari Giant Step. "Saya dari dulu kagum ke Giant Step, lha malah sekarang bertemu langsung dengan Benny Soebardja di Inggris", jelas Surya kepada saya. Ketika pulang ke Indonesia, bahkan Surya mampir ke Cinere, kediaman Benny Soebardja.

Di Birmingham, PPI MIB (Persatuan Pelajar Indonesia-Masyarakat Indonesia Birmingham) menyelenggarakan sebuah diskusi musik, dengan pembicara Benny, James Lapian dari OM Pancaran Sinar Petromaks yang saat ini bekerja sebagai wartawan BBC London, dengan moderator Riza Sihbudi. Diskusi yang berlangsung sehari sebelum mantan presiden Soeharto meninggal, menyinggung banyak hal, termasuk peran musik dalam gerakan mahasiswa 70-an.

Riza membagikan rekaman CD Shark Move "Gede Chokra's" dan album solo Benny "Give Me A Piece of Gut Rock". CD tersebut laris manis, hanya para mahasiswa itu hampir semuanya berkomentar kalau lagunya jadul sekali, meski eksplorasi musiknya menyentuh area progresif, blues, psychedelic dan pop. Hanya Surya yang menikmati. Surya pula yang telaten mengantar Benny dan istri kesana kemari mengurus bisnisnya.

***

Benny mempunyai dua anak laki-laki. Si sulung, Anggara Rhabents tercatat sebagai mahasiswa program master arsitektur di TU Delft. Sedangkan Ramaditya Nalendra adalah mahasiswa tingkat akhir di Bina Nusantara jurusan Graphic Design serta sedang mambangun reputasi bermusik melalui band Idealego.

"Tiap tahun saya juga membuka stand di Pasar Malam Besar Tong-Tong di Den Haag. Selain bisnis, juga menengok anak yang kuliah disana". Bulan Mei yang lalu, Benny membawa serombongan karyawannya untuk berjualan. Jualan apa? "Makanan Indonesia". Juga membawa segepok katalog mebel Bents.

Selain membawa staf sendiri, Benny juga mempekerjakan mahasiswa Indonesia teman anaknya,"Lumayan hemat bagi saya. Memberi rezeki bagi mereka juga".

Mencari pasar di luar negeri memang terus dilakukan Benny dengan berbagai cara. Ibu Tria, istri Benny bilang,"Di Spanyol stand Indonesia dibiayai oleh Departemen Perindustrian. Sayang yang di Birmingham harus kami bayar sendiri. Kami mau minta ke Departemen Perindustrian supaya tahun depan pameran di Birmingham juga dibiayai", jelasnya dengan penuh semangat. "Gini-gini, kami ini membantu ekspor non migas Indonesia, ya mas".

Saya menganggukkan kepala. Pameran di Birmingham memang hanya diikuti 3 peserta Indonesia, berbeda dengan Thailand dan Cina yang standnya besar, dengan peserta yang banyak dan dibiayai pemerintahnya.

Ibu Tria kembali menjelaskan kalau mereka tidak mempunyai toko atau ruang pamer tetap. Mereka hanya mengandalkan pameran di Jakarta dan luar negeri, serta jaringan di berbagai negara.

***

"Saya heran, mengapa musisi Indonesia tidak mau meminggirkan egonya untuk melestarikan musik Indonesia", demikian Benny menjawab pertanyaan saya mengapa langkah Shark Move merilis albumnya tidak diikuti oleh musisi lainnya, seperti Guruh Gypsy maupun album Badai Pasti Berlalu dari Eros, Chrisye dan Yockie.

Album Guruh Gypsy yang oleh Rolling Stones Indonesia dianggap sebagai salah satu album berpengaruh di Indonesia memang belum dirilis ulang karena masalah ketidaksepakatan antar musisinya. Album Guruh Gypsi malah dirilis ulang oleh Shadoks dalam bentuk piringan hitam tanpa izin dari Keenan Nasution dan Guruh Soekarnoputra. Hal ini membuat Keenan marah dan sempat berencana menempuh jalur hukum. Sedangkan album fenomenal Badai Pasti Berlalu juga dibelit masalah antara Eros, alm. Chrisye dan Yockie disatu pihak, dengan musisi lainnya seperti Berlian Hutahuruk dan Nasution bersaudara.

Benny memprihatinkan bahwa sejarah perjalanan musik Indonesia akan pincang jika generasi muda tidak mengetahui karya musisi terdahulu. Karena itu, Benny sudah me-remastered beberapa album Giant Step dan merelakan untuk diterbitkan ulang. Benny sudah berbicara dengan Rolling Stones Indonesia untuk menjadikan album Giant on the Move sebagai bonus majalah ini. "Ini semata-mata untuk mendokumentasikan perjalanan bermusik Giant Step dan supaya generasi muda lebih paham sumbangan generasi kami ini". Sayang tawaran ini belum terwujud.

Shadoks, sebuah label independen internasional dari Jerman yang fokus pada musik psychedelic yang kurang dikenal, tertarik untuk merilis Gede Chokra's setelah seorang penggemar Shark Move, Niantoro Sutrisno, yang akrab dipanggil Torro dan aktif di KPMI, mengirimkan kopi album ini. Setelah Shadoks menyatakan minatnya, Gede Chokra's diremaster dengan sumber dari plat yang ada .

"Honor Gede Chokra's hanya cukup perjalanan Jakarta-Jerman PP", jelas Bu Tria dengan nada guyon. Benny menimpali,"Yang penting dunia tahu ada band sebagus Shark Move di awal 70-an".

Bos Shadoks, menurut Benny, suka dengan lagu Evil War,"Mungkin karena dinilai lebih phsychedelic dari My Life yang lebih progresif.

Gatot Widayanto, Chairman I-Rock yang juga kondang sebagai reviewer di situs referensi musik rock progresifwww.progarchives.com menyatakan kalau salah satu dosa terbesarnya adalah terlambat puluhan tahun untuk mendengar album Gede Chokra's. Gatot berkesimpulan bahwa album ini adalah sebuah "…excellent vintage progressive rock – classic rock music that successfully blended the elements of progressive music, traditional harmonies and nice melodies throughout the songs it offers…". Karena itu, Gatot menyimpulkan album ini adalah sebuah penanda (landmark) dan pembangun fondasi musik progresif di Indonesia.

I-Rock pula yang memanggungkan Shark Move tanggal 8 Mei 2008 di Mario's Place Jakarta.

Sedangkan Torro dalam situs yang sama menulis kalau Shark Move dan Benny Soebardja adalah pionir yang menyebarkan musik progrock di Indonesia, yang kemudian diteruskan melalui Giant Step. Torro juga menyebutkan kalau album Gede Chokra's "…was created with complex arrangement and full of prog-rock touch suchs as My Life (the longest Indonesian song on early 70's…". Sementara lagu yang berbahasa Indonesia, lanjut Torro, cenderung beraransemen ngepop.


Bersama Sangkan dan Yaya di Mario's Place Jakarta

Benny memang seorang yang mencintai musik, selain menghargai karir profesionalnya. Setelah menamatkan kuliah pertanian di Universitas Padjadjaran, Benny meneruskan kuliah master di IPB.

"Akhir tahun 1970-an, saya mulai bekerja di perusahaan Inggris ICI memegang Jawa Timur sebagai R & D. Saya sering bekerja sama dengan Balai Penelitian Pertanian di Malang, Surabaya dan perkebunan negara dan swasta, dalam membuat percobaan pestisida baru yang belum dipasarkan. Terpaksa kalau Giant Step mau manggung atau menggarap album, harus boyongan ke kontrakan saya di Malang".

"Obsesi saya sekarang adalah menerbitkan album Idealego ke pentas nasional". Idealego adalah band pimpinan Rama, anak kedua Benny. "Kalau Idealego sudah mentas dan anak saya yang pertama sudah lulus dari Delft, plong rasanya hati saya. Saya bisa bermusik lagi dengan lega."

Idealego sudah beberapa kali bermain di pentas musik nasional, seperti membuka konser reuni Shark Move di Mario's Place, konser mengenang Gito Rollies di Sabuga Bandung, dan Jakarta Rock Parade.

"Obsesi saya adalah manggung bersama grup-grup 70-an, seperti God Bless, Gypsi, AKA, dsb. Mumpung kami masih ada sehingga bisa memberikan contoh kepada generasi muda saat ini."

Kalau itu terjadi, ini akan menjadi langkah raksasa musik Indonesia.

***

Malam itu Mario's Place cukup ramai. Kamis, 8 Mei 2008 adalah penampilan resmi pertama Shark Move dalam konser khusus yang diselenggarakan I-Rock. Idealego tampil pertama, penuh semangat dengan lagu rock masa kini. Pada lagu terakhir, Benny maju berbagi vokal dengan anaknya Rama. Suasana sungguh nostalgis. Setelah selesai, Shark Move tanpa basa-basi langsung menampilkan lagu "Decision". M Alfie Syahrine, salah satu penggiat KPMI mengomentari bahwa "Decision" adalah salah satu anthem Giant Step yang sangat progresif pada masanya, bahkan sampai saat ini. Sayang malam itu Yanto Diablo tidak memainkan flutenya, yang sebelumnya ditunjukkan dalam pertunjukan di Sabuga beberapa minggu sebelumnya.

Mario's Place adalah sebuah kafe di bilangan Cikini, dekat dengan Taman Ismail Marzuki. Sebelum pindah, ia berada di jalan Menteng dekat Batik Keris. Kafe ini cukup ramah terhadap penggemar classic rock dan blues. Sudah tak terbilang pertunjukan hidup band-band yang memuaskan segmen kecil musik tersebut, yang sebelumnya dipuaskan melalui radio M97 Classic Rock Station almarhum.

Sedangkan I-Rock adalah komunitas penggemar rock terpandang di Indonesia, secara rutin menyelenggarakan acara di Mario's Place. Komunitas ini tidak hanya ajang kumpul-kumpul, tetapi juga berniat menjadi pemain dalam industri musik di Indonesia, yang dirintis melalui penyelenggaraan pentas musik rock bulanan.

Salah satu yang pernah main dalam acara I-Rock adalah Cordova, band hard rock dengan pemain gitar kawakan bernama Sangkan. Sangkan sedikit banyak menyerupai Benny. Santun, alim, dan tidak pernah meninggalkan salat lima waktu. Sangkan adalah teman tabligh almarhum Gito Rollies dan beberapa musisi rock yang sekarang meluangkan waktu berdakwah. Sangkan pula yang diajak Benny menjadi lead guitarist Shark Move tahun 2008 ini.

Anggota asli Shark Move memang sudah terpencar. Bhagu Ramchand dan Soman Lubis sudah meninggal. Yanto Diablo, pemain bass dan flute sudah lama meninggalkan musik, meski Benny berkata kepada saya,"Kasih waktu tiga bulan buat latihan bass, pasti Yanto bisa main lagi. Dulu dia salah satu bassist terbaik di Bandung". Sedangkan Sammy Zakaria, drummer yang juga sempat main di Giant Step,"Sudah lama jadi ustaz di Lampung".

Dengan keinginan yang kuat untuk membangkitkan Shark Move lagi, maka Benny mengajak berbagai musisi untuk main bersamanya. Dalam pentas mengenang Gito Rollies di Bandung akhir April 2008, selain Sangkan dan Benny pada gitar, Benny juga mengajak Budi Haryono, eks drummer Krakatau, Archi basisst band anaknya Idealego, mengisi bass, serta Pras, seorang session keyboard player. Yanto ikut menyumbangkan suara dan permainan flutenya.

Sedangkan pada pentas reuni resmi mereka di Mario's Place, posisi Budi digantikan Yaya Muktio, drummer kawakan yang pernah membantu Cockpit, God Bless dan Gong 2000. Benny bilang,"Budi pukulannya terlalu nge-jazz. Kebetulan saya bertemu Yaya ketika sedang makan di steak Abuba". sedangkan Pras tetap di keyboard.

Kemudian pada penampilan ketiga di Jakarta Rock Parade Juli 2008, Erwin Badudu, keyboardist Giant Step masuk, sementara Soma Fox, teman band Sangkan di Cordova, mengisi posisi bass.

Benny mengakui agak berat jika dengan pemain yang berganti-ganti, Shark Move bisa menghasilkan album lagi. Tetapi Benny tetap bertekad untuk menyumbangkan musiknya untuk Indonesia, karena musik adalah his life…

September 2008.
Agam Fatchurrochman

Monday, October 15, 2012

Wednesday, September 19, 2012

Munir, Lopa, dan Yamin (1)

Minggu lalu saya menonton dua film dokumenter mengenai Munir "Kiri
Hijau dan Kanan Merah, serta "Garuda's Deadly Upgrade", via Youtube.

Ada dua fakta yang secara spekulatif diangkat oleh pembuat film
"Upgrade" mengenai kematian dua penegak hukum dengan integritas yang
dikenal luas, dan kaitannya dengan Garuda (serta operasi intelijen):
kematian mendadak Jaksa Agung Baharuddin Lopa tahun 2001 di Saudi
Arabia (setelah naik Garuda), dan orang kepercayaan Lopa, Muhammad
Yamid, Kepala Badan Diklat Kejaksaan Agung, pemenang Bung Hatta
Anticorruption Award 2003, tahun 2004 di Bali (setelah naik Garuda).

Saya tidak hendak menulis soal Garuda, yang memang sepertinya
dimanfaatkan kekuatan besar negeri ini, tapi sedikit persentuhan saya
dengan tiga orang ini.

Saya tak kenal pribadi mereka. Perjumpaan saya dengan Munir adalah di
kantor YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), baik di jalan
Diponegoro atau di rumah yang disewa YLBHI 20 m dari YLBHI, jalan
Mendut.

Saya mulai bekerja di ICW minggu pertama Januari 2000. Saya bekerja
sebagai peneliti di ICW, meneliti pola korupsi di Ditjen Pajak (sampai
tahun 2005 saya masih suka menulis soal Pajak). Kantor ICW yang
dipimpin Teten Masduki, saat itu berbagi rumah jalan Mendut dengan dua
organisasi lainnya, Kontras (Koordinatornya Munir) dan Lerai (Lembaga
Rekonsiliasi Konflik Indonesia, ini lembaga untuk resolusi konflik
yang dipimpin Tamrin Amal Tomagola). Masing-masing menempati satu
ruang agak besar.

YLBHI saat itu masih dikenal sebagai lokomotif demokrasi Indonesia,
berada di garda terdepan demokrasi, good governance, dan hak asasi
manusia. Ketua YLBHI saat itu adalah Bambang Widjojanto, yang berumur
sekitar 36 tahun saat itu. Wakil Ketua (Program) adalah Munir, serta
Wakil Ketua (Administrasi) Dadang Trisasongko. Teten menjadi
Koordinator Divisi Perburuhan. Aktivis Kontras, Lerai, dan ICW, saat
itu didominiasi orang Jakarta, mahasiswa atau alumni muda. Saya merasa
terasing di minggu-minggu awal disana, tak kenal banyak orang, semua
orang omong "lu gue", sementara saya medok bahasa Jawa. Satu dua kali
saya bisa ngomong Jawa dengan Munir dan Dadang Trisasongko, dua orang
mantan LBH Surabaya".

Singkat cerita, saya mulai bekerja, dan meniti karir di ICW. Tiga
bulan bekerja, saya dipromosikan menjadi Kepala Divisi Investigasi,
mungkin karena latar belakang akuntansi saya.

(bersambung... kalau sempat)



Agam Fatchurrochman


--
Agam Fatchurrochman
GTalk, Skype: afatchur


--
Agam Fatchurrochman
GTalk, Skype: afatchur

Saturday, September 15, 2012

Porto Alegre di Indonesia itu Solo

Tiba-tiba saya teringat ngobrol santai saya dengan Teten Masduki tahun 2008 di perempatan BPKP Aceh sambil makan duren, katanya Porto Alegre di Indonesia itu di Solo.

Ketika itu saya memang bekerja di Aceh, konsultan public financial management, dan seperti biasa ngomong soal participatory development and budgeting sebagai bagian keseharian. Teten datang untuk berkunjung ke Aceh Besar. Kami ngobrol kesana kemari (ceritanya ada di MP lama saya). Tiba-tiba dia bilang kalau sebenarnya sudah ada kota di Indonesia yang menerapkan participatory development, yaitu Solo.

Porto Alegre adalah kota besar di Brazil yang secara konsisten menerapkan participatory development and budgeting secara substansial, bukan sekedar ala Musrenbang. Singkat cerita, Porto Alegre dipilih tiga kali jadi tuan rumah World Social Forum, forum multipihak yang percaya bahwa there is another alternative to Neoliberal Economy, karena banyak yang kagum dengan perencanaan kota yang memihak warga, bukan sekedar menyenangkan perusahaan besar. Silakan googling untuk melihat bagaimana sebuah kota yang memberdayakan warganya.

Pengetahuan saya mengenai Solo waktu itu boleh dibilang kurang. Yang saya tahu soal Solo, sebagai orang Semarang yang lulusan Yogya, adalah Solo itu kota rusuh, tak tertata, banyak preman merah dan hijau. Keraton Solo (pihak Pakubuwono dan Mangkunegoro) tidak mendapat penghormatan dari rakyat (Mangkunegoro saya dengar lebih dihormati), karena dulu penggedenya lebih memihak Belanda, berbeda dengan keraton Yogya. Solo kalah pamor dari Semarang sebagai ibukota Jawa Tengah. Sisi budaya dan pendidikan, serta pariwisata kalah dari Yogya, sesama pewaris kerajaan Mataram. Saya melihat orang Solo kurang bangga dengan kotanya. Pendek kata, anak muda Solo yang ingin sekolah bagus, seperti Jokowi muda, ya kudu ke Yogya. Solo tertolong sedikit karena ibu Tien masih kerabat Mangkunegoro.

Maka bagi saya Porto Alegre Indonesia itu Solo, adalah kemustahilan. Tapi Teten cerita kalau walikota Solo, Joko Widodo (waktu itu nama Jokowi belum ngetop), adalah pemimpin visioner, dekat dengan rakyat, memberdayakan rakyat, melaksanakan pembangunan yang partisipatif, antikorupsi, dan tidak punya potongan pejabat -baik perilaku maupun tampang-, sesuatu yang sudah melembaga di Porto Alegre.

Teten hanya singkat menyinggung soal Solo dan Porto Alegre. Kami meneruskan makan duren dan ngobrol sana sini.

Tahun 2009 saya diminta Teten ikut membantu Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA), yang didirikan oleh para tokoh berintegritas, seperti Bambang Widjojanto-sekarang KPK, TP Rachmad-mantan Astra, Adaro, Ken Sudarto-Matari, Shanti Pusposutjipto-Samudera Indonesia, Nono Makarim, Bety Alisyahbana-mantan CEO IBM (Ketua BHACA), dsb. Waktu itu Direkturnya masih belajar. Kemudian saya ikut membantu ketika BHACA membuka nominasi BHACA Award tahun 2010. Saya terlibat mencari nominator, dan setelah putaran terakhir, ikut mencari info soal integritas Herry Zudianto, Walikota Yogya saat itu. Saya tahu dua finalis, Herry dan Joko Widodo, Walikota Solo. Tapi karena saya buta soal Solo, saya hanya membantu soal Herry.

Singkat kata, Herry dan Jokowi mendapat penghargaan. Saya ikut hadir dalam malam penganugerahan. Tapi karena saya lebih punya kedekatan emosional dengan Yogya, saya hanya ngobrol sedikit dengan Herry. Saya bahkan tak mendekati Jokowi saat itu. Di mata saya, Herry bahkan lebih gentle, karena Herry tak mau menerima penghargaan itu secara pribadi, tapi sebagai wakil Pemerintah Kota Yogyakarta. Sehingga ketika penerima maju, Jokowi maju sendirian, Herry Zudianto maju bersama sekitar 10 staf Pemerintah Kota Yogyakarta.

Dan ketika debat calon gubernur Jakarta kemarin berlangsung di Jaktv, saya teringat kembali omongan sekilas Teten bahwa Solo itulah Porto Alegre Indonesia. Solo saat itu, 2008 atau 3 tahun Jokowi menduduki jabatan Walikota, sudah menarik perhatian banyak pihak atas pembangunan kota yang memanusiakan warganya, meski saya sungguh buta saat itu. Solo tahun 2012 adalah Solo yang percaya diri, karena warga kotanya menjadi aktor dalam pembangunan kotanya, sesuatu yang jarang di Indonesia. Warga Solo 2012 adalah warga yang ingin mewakafkan walikotanya untuk menarik Jakarta dari jurang keterpurukan. Belum pernah saya melihat warga biasa suatu kota sungguh mencintai pimpinannya, dan bahkan mendorong warga kota lain untuk menikmati gaya manajemen Jokowi yang mendorong partisipasi warga buat bersama-sama bergerak bersama membangun kota.

Tanggal 20 September 2012, apakah Jakarta akan menjadi Porto Alegre Indonesia ketiga (yang kedua Yogya)?
Agam Fatchurrochman

Debat Cagub Tadi Malam

Tadi malam ada debat cagub-cawagub. Singkatnya kalau bagi saya (dan semua orang yg saya tanya yg pro perubahan):

- Foke ngomong konsep makro, dg indikator makro, emosional: ngambang.

- Jokowi menggebrak dg bawa desain kampung susun, monorel kapsul, dkk: membawa harapan perubahan kongkret, langsung terasa, indikator terasa: empirik.

- Nara: hahaha.

- Ahok: jago debat, tanpa terpancing emosinya: elegan

Momen paling berkesan:

- Foke ketika datang sempat cipika cipiki sama dua perempuan, yg sepertinya bukan muhrimnya hahaha mau kampanye pilih pemimpin Islam bagaimana.

- Jokowi ucap salam ala NU, dg kalimat2 arab panjaaaaaaanggg.

- Jokowi keluarkan alat peraga kampung susun, monorel kapsul, dsb. Semua melongo. Perlihatkan kalau perubahan is in the near future.

- Foke kata kunci: akan, segera, sedang: perubahan is very far away.

- Ahok beberapa kali membantu membetulkan mike Jokowi. Gesture yg berkesan, bahwa ini pasangan serasi, saling mengisi.

- Nara bilang: kita anti ekonomi liberal, hidup koperasi! Teeeetttt waktu habis, nggak jelas maksugnya. Nara sama sekali tidak dikasih kesempatan bicara.

- Ahok sempat tinggal 10 detik. Dia pintar pilih kalimat yg berkesan: birokrasi itu mulai dari atasnya. Kalau yg di atas lurus, di bawah juga lurus! Teeettt sebuah punch line yg berkesan.

- Foke emosi ketika Jokowi ngomong PPATK, konflik, dsb. Foke memang ahli eufimisme: konflik sosial = singgungan. Ini melengkapi temuan Foke lain: banjir kurang dari 3 jam = genangan; macet = padat merayap.

- Nara ketika bahas kemacetan, sempat bahas teknik membuat jalan aspal: pertama dilapisi batu, kemudian pasir, kemudian aspal hahaha.

- Ahok jago debat, dengan argumentasi yg mengesankan, konsep iya, detil iya.

- Jokowi pandai presentasi dg bahasa yg sangat mudah diterima. Tapi kalau debat, terlalu santun untuk melawan.

- Di akhir acara ada pembahasan oleh Tjipta Lesmana dan Effendi Ghazali, dua-duanya memuji Jokowi-Ahok.

Demikian sekilas review singkat debat. Tidak sabar menunggu Metro TV Minggu malam, apakah Foke bakal menyontek alat peraga seperti Jokowi lagi.

Agam Fatchurrochman